earth

Guestbook

/* Iklan google ads */

Syiah Sesat? Ini Kata Ustadz Kampung (Bagian III)

Sungguh menarik jika kita berdialog dengan orang-orang yang tidak menaruh prasangka buruk, apalagi kebencian, terhadap suatu faham agama. Jawaban-jawaban yang dikemukakan terasa logis dan tidak menyalahkan. Seperti terhadap faham/aliran Syiah, misalnya. Syiah, yang selama ini sering dianggap sesat, ternyata tidak seburuk apa yang dituduhkan jika kita mengetahui akar masalah perbedaan yang terjadi antara faham kita (Sunni) dan Syiah.

Dari dialog sebelumnya kita memperoleh sedikit jawaban atas pertanyaan mengapa sebagian orang Syiah tidak menyukai Abu Bakar dan 'Umar, dan mengapa mereka berkeyakian bahwa 'Ali-lah yang harus jadi khalifah.

Sekalipun jawaban-jawaban tersebut hanya sebatas pendapat dari analisa sejarah, namun paling tidak dapat membuat kita lebih bijak dalam menilai orang-orang Syiah sehingga kita tidak asal menuduh, apalagi mengkafirkan, tanpa alasan yang jelas.

Untuk mengetahui isue-isue seputar Syiah lainnya, berikut ini adalah dialog lanjutan meneruskan dialog-dialog sebelumnya:

Saya : Menyambung pertanyaan yang kemarin, bagaimana menurut ustadz mengenai pandangan orang-orang Syiah terhadap khalifah Utsman?

Ustadz : Hehehe... masih penasaran rupanya... Mengenai Utsman, saya kira tidak lepas dari sikap kepemimpinannya yang nepotis, ditambah dengan perilaku jajarannya yang korup. Beliau mengangkat kerabat-kerabatnya sebagai pejabat negara, seperti mengangkat sepupunya, Marwan bin Hakam sebagai Sekneg, padahal ia telah diusir Nabi dari Madinah karena menjadi mata-mata musuh. Beliau pun mengangkat Walid bin ‘Uqbah bin Abu Mu’aith sebagai gubernur Kufah dan mempertahankan Mu'awiyah bin Abu Sofyan sebagai gubernur Damaskus, padahal ‘Umar berwasiat supaya jangan mengangkat pemimpin dari keluarga Abu Mu’aith dan Bani Umayyah.
Nah, orang-orang yang diangkat Utsman ini banyak menyelewengkan dana baitul mall dan berperilaku hedonis, namun Utsman membiarkannya dan cenderung membela mereka.
Tapi yang membuat sebagian orang Syiah tidak menyukai Utsman, saya kira, bukan karena faktor-faktor itu saja. Tapi ada faktor lain, antara lain: Pertama, Utsman memberikan tanah Fadak kepada Marwan, padahal tanah itu warisan Nabi kepada Fatimah yang tidak diberikan oleh Abu Bakar, seperti yang saya ceritakan kemarin. Kedua, Utsman mempertahankan Mu'awiyah bin Abu Sofyan sebagai gubernur padahal ia termasuk keturunan thulaqa dan menjadi musuh Syiah paling utama di kemudian hari. Ketiga, Utsman mengusir Abu Dzar Al-Ghifari dari Madinah karena sikapnya yang selalu memprotes kebijakan-kebijakan Utsman, padahal Abu Dzar ini seorang yang sangat dekat dengan Nabi dan sebagai pengikut setia ‘Ali.
Dari faktot-faktor itulah, barangkali, yang membuat sebagian orang-orang Syiah tidak menyukai Utsman.

Saya : Ah, masa pemerintahan khalifah Utsman KKN seperti itu? Rasanya sulit dipercaya...

Ustadz : Ya... kalau kamu bacanya dari buku-buku pelajaran sekolah pastinya akan kaget, tapi bagi mereka yang menggeluti sejarah Islam pastinya bukan hal aneh lagi.

Saya : Ooo... Kembali ke masalah tadi, maksudnya Mu'awiyah sebagai keturunan thulaqa dan musuh Syiah paling utama itu bagaimana, ustadz?

Ustadz : Thulaqa itu orang-orang yang masuk Islam karena sudah terdesak pada saat Fathul Makkah (penaklukan Mekah). Nah, Mu'awiyah ini kan anaknya Abu Sofyan, sedangkan Abu Sofyan masuk Islam karena Fathul Makkah itu.
Mu'awiyah dianggap sebagai musuh besar Syiah pada saat itu karena selain telah menggulingkan kekhalifahan ‘Ali secara licik pada Perang Shiffin, juga telah membunuh keluarga dan para shahabat Nabi yang menjadi pengikut ‘Ali, seperti: menyuruh Ja’dah binti Asy’ats untuk meracun Hasan bin 'Ali, cucu Nabi; membunuh Muhammad bin Abu Bakar, adiknya ‘Aisyah atau ipar Nabi; membunuh Amr bin Hamaq; dan masih banyak lagi para shahabat Nabi lainnya yang ia bunuh hanya lantaran mendukung 'Ali atau karena tidak mau mengutuk 'Ali.
Begitu juga dengan anaknya, Yazid bin Mu'awiyah. Pasukan Yazid, yang dipimpin ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, memenggal kepala Husain bin 'Ali, cucu Nabi, dan membunuh ribuan pengikutnya di Karbala. Begitupun pembunuhan terhadap belasan ribu muslimin di Harrah Syarqiyah, sebelah Timur Madinah, dilakukan oleh pasukan Yazid pimpinan Muslim bin ‘Uqbah. Belum lagi pembunuhan-pembunuhan lainnya yang dilakukan oleh para gubernur semasa kekhalifahan Yazid terhadap orang-orang Syiah.
Barangkali hanya ‘Umar bin ‘Abdul Aziz-lah dari dinasti Umayyah yang tidak memusuhi ‘Ali dan pengikutnya. Bahkan ia menolak untuk menjelek-jelekkan ‘Ali dalam setiap khotbahnya, padahal semua khalifah dinasti Umayyah selalu melakukannya, termasuk ayah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz sendiri.
Jadi sangat wajar jika kemudian ada orang-orang Syiah pada masa kini yang ikut membenci Mu'awiyah dan keturunannya.

Saya : Astaqfirullah... seperti itu kah sejarah Islam? Tapi dalam buku-buku pelajaran sekolah tidak seperti itu, ustadz?

Ustadz : Buku yang diajarkan di sekolah kan memiliki tujuan tertentu. Bisa saja karena tujuan politik, stabilitas dalam negeri, atau tujuan-tujuan lainnya, sehingga sejarah yang sebenarnya tidak diungkap.
Makanya saya suka heran dengan orang-orang yang ingin menegakkan khilafah. Sejarah kekhalifahan itu tidak seindah yang dibayangkan orang. Disana penuh intrik, tipu daya, bahkan fitnah yang berujung pembunuhan. Selain itu, model peralihan kekhalifahan pun tidak ideal. Coba kamu pikir, model khilafah mana yang akan dipakai? Khalifah Abu Bakar hasil ijtihad ‘Umar. Khalifah ‘Umar hasil pelimpahan Abu Bakar. Khalifah Utsman hasil penunjukan ‘Umar, yang menunjuk antara Utsman dan ‘Ali. Karena ‘Ali tidak bersedia mengikuti kebijakan dua khalifah sebelumnya, sedangkan Utsman bersedia, maka Utsman-lah yang ditunjuk, sekalipun dalam kenyataannya malah jauh berbeda dengan dua khalifah sebelumnya. Dan khalifah ‘Ali pun hasil pelimpahan Utsman. Sayangnya beliau diperdaya Mu’awiyah sehingga terpaksa harus menyerahkan kekhalifahannya. Jadi model mana yang ingin ditegakkan? Model Mu'awiyah? Model Mu’awiyah malah lebih parah karena mengubah kekhalifahan menjadi sistem dinasti mirip kerajaan. Heran kan jika ada orang yang masih ngotot ingin menegakkan sistem khilafah?

Saya : Maklum saja ustadz... kebanyakan dari mereka kan seperti saya, cuma ikut-ikutan apa kata orang, hehehe...
Tapi katanya Abu Sofyan masuk Islam sebelum Fathul Makkah, bagaimana menurut ustadz?

Ustadz : Hehehe.... Saya malah baru tahu kalau ada cerita semacam itu. Tapi begini, kita tahu bagaimana pertarungan politik antara Mu'awiyah dan 'Ali pada saat itu, karenanya kita harus kritis terhadap cerita-cerita seperti itu. Soalnya siapa yang leluhurnya menjadi muslim paling awal maka akan memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat Islam pada saat itu. Kan aneh jika Abu Sofyan yang terkenal keras melawan Islam sejak awal tiba-tiba menjadi muslim sebelum Fathul Makkah, padahal kebanyakan ulama, yang didukung hadits-hadits shahih, justru berpendapat sebaliknya? Sementara Abi Thalib, yang selalu membela Nabi dari serangan kaum Qurairy ketika masih berada di kota Mekkah, malah diceritakan meninggal dalam keadaan kafir, padahal banyak juga hadits-hadits dan riwayat-riwayat shahih yang mengatakan sebaliknya?
Terus terang saya tidak ingin berpolemik mengenai keabsahan hadits dan sejarah perihal kekafiran Abi Thalib, soalnya bukan ahli keduanya. Tapi ada pertanyaan kritis terhadap hadits-hadits tersebut: Pertama, bagaimana mungkin orang-orang yang menceritakan hadits ini tahu kejadian di Mekkah padahal mereka masuk Islam ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah? Kedua, hadits tentang meninggalnya Abi Thalib selalu dikaitkan dengan turunnya surat At-Taubah ayat 113 dan Al-Qashash ayat 56. Padahal, menurut ahli tafsir, surat At-Taubah termasuk surat Madaniah terakhir, atau sekitar 10 tahun pasca meninggalnya Abi Thalib. Nah, kan janggal sekali?
Tapi biarlah untuk urusan ini para ulama ahli hadits dan ulama ahli sejarah saling berdebat. Toh tidak ada untungnya buat kita. Kalau saya pribadi lebih meyakini riwayat yang sesuai dengan akal dan nurani. Islam itu logis, kok!

Saya : Baiklah, ustadz. Kalau mengenai pandangan orang-orang Syiah terhadap siti ‘Aisyah sendiri bagaimana?

Ustadz : Mengenai ‘Aisyah, saya kira, tidak lepas dari perannya dalam Perang Jamal. ‘Aisyah dianggap sebagai kreator dan sekaligus provokator terjadinya perang melawan ‘Ali yang menyebabkan terbunuhnya puluhan ribu kaum muslimin dari kedua belah pihak. Karena hal itulah, barangkali, yang menyebabkan sebagian orang-orang Syiah tidak menyukai ‘Aisyah.

Saya : Yang dimaksudkan sebagai kreator dan provokator itu bagaimana, ustadz?

Ustadz : Begini... Pasca terbunuhnya Utsman, ‘Aisyah menuduh bahwa ‘Ali-lah yang telah membunuh Utsman, padahal sebelumnya ‘Aisyah pun pernah menuduh Utsman telah kafir. Tuduhan terhadap ‘Ali ini kemudian beliau sebarluaskan hingga ke kota Basrah, Irak, sehingga banyak orang yang bergabung untuk menggulingkan ‘Ali, seperti Thalhah, Zubair, 'Abdullah bin Zubair, Marwan bin Hakam, orang-orang dari klan Banu Umayyah, dll.
‘Aisyah sendiri sebenarnya sudah beberapa kali diperingatkan oleh Ummu Salamah, istri Nabi yang lain, supaya jangan mengunjungi kota-kota apalagi untuk memprovokasi massa menentang ‘Ali, karena sebagai ummul mu'minin seharusnya tetap berada di rumah, seperti yang dinyatakan dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Tapi ‘Aisyah tetap berkeras sehingga terjadilah Perang Jamal. Dinamai Perang Jamal atau Perang Unta karena 'Aisyah menunggangi unta ketika memimpin pasukan untuk menyerang 'Ali dan para pengikutnya. Peristiwa ini kemudian disebut fitnatulkubro karena merupakan fitnah besar dalam sejarah Islam.

Saya : Heran, kok bisa ya siti ‘Aisyah bertindak seperti itu?

Ustadz : Jangankan kamu, para ahli sejarah juga kebingungan dalam mengungkap misteri kebencian ‘Aisyah terhadap ‘Ali ini. Tapi saya kira, ada penghasut yang menyebabkan ‘Aisyah seperti itu. Namun sayang sejarah belum bisa mengungkap siapa penghasut itu.

Saya : Menurut ustadz, siapa kira-kira yang menghasut ‘Aisyah sehingga beliau membenci ‘Ali?

Ustadz : Wah, untuk yang satu ini saya tidak tahu. Para ahli sejarah saja bingung, apalagi saya. Tapi saya kira, para penghasut ini adalah orang-orang yang membenci Nabi dan Islam karena telah mengubah kekuasaan berdasarkan dinasti kesukuan menjadi dinasti ilahiyah.
Yang terpenting bagi kita sekarang adalah mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa masa lalu itu supaya jangan terulang. ‘Aisyah saja pada akhirnya meminta maaf kepada ‘Ali, dan ‘Ali pun memaafkan beliau. Begitu pula dengan Yazid yang menyesali perbuatannya karena telah terlibat dalam pembunuhan Husain, cucu Nabi. Lalu mengapa kita masih saling berselisih tanpa alasan yang jelas, padahal kita tidak tahu persis kejadiaan yang sebenarnya pada saat itu? Apa susahnya sih untuk saling menghargai perbedaan dan melupakan sejarah kelam di masa lalu?

Saya : Betul sekali, ustadz... Toh, hanya Allah swt yang akan menilai dan mengadili kita kelak.

Ustadz : Nah... itulah yang saya tidak habis pikir, kenapa masih saja ada orang yang merasa dirinya paling benar dan menganggap orang lain salah? Padahal hak Allah untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah nantinya, bukan hak kita!

Saya : Iya, ustadz... Kembali ke masalah Syiah, bagaimana pendapat ustadz mengenai ahlul bait karena antara Sunni dan Syiah berbeda pendapat dalam masalah ini?

Ustadz : Mengenai ahlul bait, Sunni dan Syiah memang berbeda pendapat. Kalau Sunni berpendapat bahwa yang termasuk ahlul bait itu semua keluarga Nabi, termasuk istri-istri beliau, sedangkan Syiah berpendapat hanya ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Perbedaan ini tidak lepas dari penafsiran yang berbeda terhadap Hadits Kisa yang bersumber dari Ummu Salamah. Hadits ini berkaitan dengan turunnya ayat Tathir, penggalan surat Al-Ahzab ayat 33 (Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya).

Saya : Bagaimana bisa terjadi perbedaan penafsiran begitu, ustadz?

Ustadz : Begini, setelah turunnya ayat Tathir, Nabi menutupi ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain dengan kain atau Kisa, lalu berdoa tiga kali berulang-ulang, meminta kepada Allah supaya menghilangkan dosa dari mereka dan mensucikan mereka sesuci-sucinya.
Yang menjadi perbedaan penafsiran barangkali karena pertanyaan Ummu Salamah ketika itu. Selepas Nabi berdoa, Ummu Salamah bertanya kepada Nabi, "bukankah aku juga keluargamu (ahl)?". Jawaban Nabi ini berbeda-beda dalam hadits. Ada yang menceritakan bahwa Nabi menjawab "ya, benar" dan menyuruh Ummu Salamah masuk kedalam kain, ada juga yang menceritakan bahwa Nabi hanya menjawab "sesungguhnya engkau dalam kebaikan, engkau adalah istri rasul".
Tidak hanya sampai disitu saja, perbedaan penafsiran pun terjadi ketika menafsirkan kata ahl dalam pertanyaan Ummu Salamah. Sunni mengartikan ahlul bait, sehingga Ummu Salamah dan istri-istri Nabi yang lain termasuk kedalam ahlul bait. Sementara Syiah mengartikan keluarga, sehingga istri-istri Nabi tidak termasuk kedalam ahlul bait, tapi hanya masuk kedalam keluarga Nabi saja. Selain itu, menurut pandangan Syiah, Ummu Salamah tidak ikut masuk kedalam kain ketika Nabi berdoa, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai ahlul bait sesuai ayat Tathir tersebut.
Itu yang saya tahu lho... Adapun kalau ada penafsiran lain, syah-syah saja. Masalah yang beginian tidak akan pernah selesai sampai kapan pun, karena tiap kepala punya sudut pandang berbeda.

Saya : Benar, ustadz. Tinggal kitanya saja, apakah mau saling menghargai perbedaan itu atau tidak? Bukan begitu, ustadz? Tapi menurut ustadz sendiri, yang termasuk ahlul bait itu siapa saja?

Ustadz : Jawaban saya simpel saja. Istri, mertua atau menantu itu ada bekasnya, tapi kalau sepupu, anak atau cucu itu tidak ada bekasnya. Dan kalaupun ditambahkan istri Nabi, saya lebih cenderung menambahkan Ummu Salamah karena, menurut salah satu hadits, beliau juga akhirnya ikut masuk kedalam kain, sekalipun tidak termasuk yang didoakan Nabi.

Saya : Wah, kelihatannya ustadz sudah benar-benar mendekati ke arah Syiah nih, hehehe...

Ustadz : Bukan mendekati lagi tapi sudah Syiah sejak SD, hanya saja Syiahnya Syiah Persib, hehehe...

Percakapan kami terhenti karena kumandang adzan Ashar yang nyaring terdengar dari mesjid sebelah rumah ustadz. Lalu kami pun sepakat untuk meneruskan obrolan ini selepas shalat Ashar nanti untuk membahas masalah nikah mut'ah, shalat jama', dan isue-isue lain seputar Syiah.

Bersambung...

Bahasan Dialog Seputar Syiah:
  1. Syiah = NU + Imamah, Tradisi Syiah di Indonesia
  2. Taqiyah, Abdullah bin Saba, Saqifah, Khilafah, 'Umar, Abu Bakar
  3. Utsman, Mu'awiyah, 'Aisyah, Thulaqa, Fitnatulkubro, Ahlul Bait
  4. Nikah Mut'ah, Abu Hurairah, Hadits-hadits Janggal, Shalat Jama'
  5. 12 Imam, Talfiq, Al-Qur'an Syiah, Kitab Al-Kafi, Strategi Zionis

  • Artikel Terkait Dengan Agama

    Terimakasih sudah membaca artikel SC Community's Blog

    7 komentar

    Aduh maaf.... konsentrasiku baca postingan teralihkan ke wajah imut2 Bintang :) Makin gede makin cakep aja dia...

    26 September 2013 pukul 21.53  

    kalau menurut saya dipertemukan saja kan dialog ulama Ahli Sunnah dengan Syiah,

    27 September 2013 pukul 05.19  

    wah ustadznya malah dakwah syiah tu.... salam taaruf

    28 November 2013 pukul 14.17  

    Syiah madzhab???? Syiah itu agama mas

    25 Februari 2015 pukul 20.50  

    Tambahkan Komentar

    • Dimohon untuk tidak mencantumkan link aktif pada komentar sobat.
    • Gunakan Ruang Tanya pada TabView Menu, jika ingin menanyakan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan artikel di atas.
    Kang eNeS

    Terimakasih atas semua apresiasi yang sobat berikan.

    10 Artikel Terbaru

    10 Artikel Terpopuler