Sungguh aneh hukum di negeri ini, sering kali kita menjumpai hal-hal -yang menurut pandangan awan- sangat tidak masuk akal, janggal, dan memalukan. Tapi apa boleh dikata, itulah kenyataan yang terjadi di negeri kita tercinta.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana aparat hukum telah melakukan salah tangkap terhadap tersangka pembunuh Asrori di Jombang Jawa Timur, yang dituduhkan kepada Imam Hambali (Kemat), Devid Eko Priyanto dan Maman Sugianto alias Sugik. Kasus salah tangkap terhadap Masturi, warga kelurahan Cipetir, Tangerang, yang dituduh telah membunuh dan memperkosa Sri Mulyati, seorang PRT di Perumahan BTN Cipondoh. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang tak terhitung jumlahnya.
Yang aneh dan terasa janggal bukanlah masalah salah tangkap tersebut, karena hal ini mungkin saja terjadi kesalahan informasi atau tidak akuratnya informasi yang dimiliki aparat Polisi, tapi melakukan pemaksaan untuk menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sehingga mengakibatkan mereka (tertuduh) mendekam di terali besi. Dan lucunya lagi, apabila terdapat bukti baru yang menguatkan bahwa mereka tidak bersalah karena pelaku sebenarnya tertangkap, aparat hukum tetap melanjutkan persidangan meskipun telah dikritik disana-sini sebagai tidak manusiawi, tidak profesional, melanggar HAM, dll.
Sekarang muncul lagi kasus yang aneh bin ganjil, yaitu kasus Prita. Hanya karena mengirim e-mail keluhan atas buruknya pelayanan RS OMNI Internasional kepada beberapa orang temannya, dia harus mendekam di penjara dengan meninggalkan dua orang anaknya yang masih kecil. Untung saja banyak tokoh penting dan LSM di negeri ini yang bereaksi sehingga dia segera dikeluarkan dari penjara dan dijadikan sebagai tahanan kota. Namun sekalipun begitu, tetap saja kasus ini menjadi lucu dan menunjukkan betapa tidak profesionalnya aparat hukum kita ditengah Indonesia menuju penyempurnaan reformasi diberbagai aspek.
Jika kasus-kasus seperti di atas terus berulang, kapan lagi masyarakat akan percaya terhadap hukum? Terlebih, apabila kasus seperti Ibu Prita ini, yang dikenakan pasal dari Undang-undang yang berlakunya tahun 2010 (berlaku ke muka) dan hanya masalah e-mail, dimenangkan oleh Jaksa Penuntut Umum, wah bisa-bisa anak-cucu kita tidak mau lagi belajar komputer, khususnya internet. Bahkan mungkin tidak akan ada lagi next generation blogger di Indonesia karena anak-cucu kita takut menuliskan pemikiran-pemikirannya di internet. Na'udubillahi min dzalika...
Melihat kenyataan ini, ayo kita dukung Ibu Prita Mulyasari !!! Bencana besar akan terjadi bagi para netter apabila kasusnya dimenangkan JPU. Sekali lagi, ayo kita dukung pembebasan Ibu Prita Mulyasari !!!
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana aparat hukum telah melakukan salah tangkap terhadap tersangka pembunuh Asrori di Jombang Jawa Timur, yang dituduhkan kepada Imam Hambali (Kemat), Devid Eko Priyanto dan Maman Sugianto alias Sugik. Kasus salah tangkap terhadap Masturi, warga kelurahan Cipetir, Tangerang, yang dituduh telah membunuh dan memperkosa Sri Mulyati, seorang PRT di Perumahan BTN Cipondoh. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang tak terhitung jumlahnya.
Yang aneh dan terasa janggal bukanlah masalah salah tangkap tersebut, karena hal ini mungkin saja terjadi kesalahan informasi atau tidak akuratnya informasi yang dimiliki aparat Polisi, tapi melakukan pemaksaan untuk menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sehingga mengakibatkan mereka (tertuduh) mendekam di terali besi. Dan lucunya lagi, apabila terdapat bukti baru yang menguatkan bahwa mereka tidak bersalah karena pelaku sebenarnya tertangkap, aparat hukum tetap melanjutkan persidangan meskipun telah dikritik disana-sini sebagai tidak manusiawi, tidak profesional, melanggar HAM, dll.
Sekarang muncul lagi kasus yang aneh bin ganjil, yaitu kasus Prita. Hanya karena mengirim e-mail keluhan atas buruknya pelayanan RS OMNI Internasional kepada beberapa orang temannya, dia harus mendekam di penjara dengan meninggalkan dua orang anaknya yang masih kecil. Untung saja banyak tokoh penting dan LSM di negeri ini yang bereaksi sehingga dia segera dikeluarkan dari penjara dan dijadikan sebagai tahanan kota. Namun sekalipun begitu, tetap saja kasus ini menjadi lucu dan menunjukkan betapa tidak profesionalnya aparat hukum kita ditengah Indonesia menuju penyempurnaan reformasi diberbagai aspek.
Jika kasus-kasus seperti di atas terus berulang, kapan lagi masyarakat akan percaya terhadap hukum? Terlebih, apabila kasus seperti Ibu Prita ini, yang dikenakan pasal dari Undang-undang yang berlakunya tahun 2010 (berlaku ke muka) dan hanya masalah e-mail, dimenangkan oleh Jaksa Penuntut Umum, wah bisa-bisa anak-cucu kita tidak mau lagi belajar komputer, khususnya internet. Bahkan mungkin tidak akan ada lagi next generation blogger di Indonesia karena anak-cucu kita takut menuliskan pemikiran-pemikirannya di internet. Na'udubillahi min dzalika...
Melihat kenyataan ini, ayo kita dukung Ibu Prita Mulyasari !!! Bencana besar akan terjadi bagi para netter apabila kasusnya dimenangkan JPU. Sekali lagi, ayo kita dukung pembebasan Ibu Prita Mulyasari !!!
Tak ada yang bisa saya berikan selain ucapan terima kasih karena telah memberikan apresiasi terhadap artikel-artikel SC Community's Blog
Tambahkan Komentar
Terimakasih atas semua apresiasi yang sobat berikan.